Ekonom Soroti Koperasi Merah Putih: Awas Pola Orde Baru Berulang!

SuaraNalar.com, Jakarta – Peluncuran Koperasi Desa Merah Putih oleh Presiden Prabowo Subianto pada 21 Juli 2025 menuai beragam respons. Meski program ini digadang sebagai solusi rantai distribusi yang merugikan petani desa, para ekonom justru menyoroti sejumlah aspek krusial yang berpotensi menjadi batu sandungan besar, termasuk kemiripannya dengan pola koperasi Orde Baru.
Menurut Wahyu D. Askar, Direktur Kebijakan Publik Selyos Media, konsep koperasi desa secara teori tidak salah. Namun, pelaksanaannya dinilai masih terlalu top-down, tidak berbasis kebutuhan komunitas desa, dan berpotensi mengulangi kesalahan masa lalu seperti KUD yang disinyalir jadi alat logistik politik, bukan penggerak ekonomi rakyat.
“Kalau tidak ingin mengulang Orde Baru, jangan ulang model koperasinya. Sekarang saja sudah ada 80 ribu koperasi yang dibentuk dalam tiga bulan. Cepat bukan berarti tepat,” tegas Wahyu sebagaimana dikutip SuaraNalar.com dari Kompas TV pada Selasa (22/7/2025).
Dana Desa Jadi Jaminan: Risiko yang Mengintai
Salah satu kekhawatiran utama adalah penggunaan dana desa sebagai jaminan pinjaman. Dari riset Selyos, sebanyak 76% kepala desa menolak skema ini. Mereka menilai dana desa adalah instrumen fiskal paling vital untuk mencegah kemiskinan, bukan alat jaminan untuk program yang belum teruji.
Lebih lanjut, Wahyu menyoroti potensi gagal bayar koperasi yang diprediksi bisa mencapai Rp85 triliun dalam enam tahun ke depan. Jika ini terjadi, bukan hanya masyarakat desa yang rugi, tapi juga sistem fiskal negara. “Dana yang berputar bisa jatuh ke rente ekonomi bawah tanah, dan tidak berdampak ke masyarakat.”
Baca juga: Apakah Presiden Prabowo Punya Kewarganegaraan Yordania?
Bank Himbara Terjepit di Tengah Ambisi Politik?
Tak hanya masyarakat desa, perbankan nasional pun ikut waswas. Bank-bank BUMN seperti BRI, BNI, BTN, dan Mandiri disebut terjebak dalam tekanan politik untuk segera menyalurkan dana koperasi, meski banyak koperasi masih belum memiliki model bisnis yang kredibel. Akibatnya, saham mereka sempat anjlok saat hari peluncuran program.
“Bank BUMN bisa jadi ATM politik, bukan lembaga intermediasi yang sehat,” kata Wahyu. Risiko moral hazard pun mengintai, di mana bank diminta menyalurkan dana tanpa proses appraisal yang kuat, padahal koperasi masih dalam tahap pembentukan.
‘Serakahnomiks’ dan Vampir Ekonomi
Dalam peluncuran program ini, Presiden Prabowo memperkenalkan istilah baru: “serakahnomiks” — merujuk pada model ekonomi yang mementingkan laba semata tanpa memperhatikan aspek sosial. Ia menyindir praktik penghisapan keuntungan dari penderitaan rakyat sebagai aksi “vampir ekonomi”.
Namun Wahyu punya tafsir berbeda. Menurutnya, aktor ekonomi kecil tak punya daya untuk bersikap serakah. Justru aktor besar yang berafiliasi dengan kekuasaan lah yang bisa memainkan peran tersebut. “Jangan menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. Jangan-jangan yang serakah itu justru mereka yang berkuasa.”
Koperasi Milik Negara atau Milik Rakyat?
Kritik lain yang mengemuka adalah soal semangat koperasi itu sendiri. Idealnya, koperasi adalah milik anggota, dikelola secara demokratis dan partisipatif. Namun koperasi desa merah putih saat ini dinilai terlalu dikendalikan negara dan beberapa kementerian. Skema pengawasan pun masih sangat minim dari level anggota.
Wahyu mengingatkan bahwa jika koperasi terus dipaksakan tumbuh dari atas, maka potensi kegagalannya akan besar. Pemerintah perlu membangun sistem bottom-up berbasis komunitas, memperkuat pendampingan usaha, serta SDM pengurus koperasi itu sendiri.
Baca juga: Koperasi Merah Putih Dianggap Tak Bankable dan Langgar Prinsip Koperasi
Ambisi menjadikan koperasi sebagai kekuatan ekonomi desa patut diapresiasi. Namun seperti disampaikan para ekonom, pemerintah perlu lebih hati-hati agar program ini tidak berubah menjadi proyek populis yang membebani fiskal dan justru menjauh dari prinsip koperasi sejati.***