
SuaraNalar – Dalam konstelasi diplomasi dagang yang makin rumit, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia muncul membawa tawaran yang mengejutkan: menambah impor minyak dan LPG dari Amerika Serikat senilai lebih dari Rp 167 triliun. Usulan ini bukan soal energi semata—ini soal politik dagang, neraca ekonomi, dan positioning Indonesia di mata Washington.
Melawan Defisit dengan Surplus
Selama ini, Indonesia menikmati surplus perdagangan sebesar USD 14,6 miliar terhadap AS. Tapi bagi mitra di seberang Pasifik, ini mulai jadi persoalan. Dalam bahasa Bahlil:
“Maunya Amerika seperti apa? Agar neraca perdagangan kita seimbang.”
Maka lahirlah opsi: kita beli lebih banyak minyak dan LPG dari mereka. Sebuah solusi tidak lazim, namun cukup cerdas. Bukan menurunkan ekspor, tapi menaikkan impor secara strategis, dengan tetap mempertahankan dominasi di sektor ekspor unggulan.
Rp 167 Triliun: Beli Pengaruh Lewat Energi?
Angka yang disebutkan Bahlil tidak main-main: lebih dari USD 10 miliar, atau setara Rp 167,7 triliun. Ini bukan sekadar transaksi energi, tapi bagian dari negoisasi diam-diam terhadap tekanan tarif baru dari Presiden Donald Trump, yang pada awal April 2025 mengumumkan:
-
Tarif hingga 32% bagi produk asal Indonesia,
-
Filipina 17%, Malaysia 24%, Thailand 36%, Vietnam bahkan 46%,
-
Sementara China tetap jadi target utama.
Namun, seminggu kemudian, Trump menunda pemberlakuan tarif bagi sebagian negara, termasuk Indonesia—diberi jeda 90 hari. Maka, tawaran Bahlil seolah menjadi bagian dari strategi “membeli waktu” dan goodwill dari Washington.
Diplomasi Energi: Bukan Sekadar Transaksi Minyak
Bahlil dengan tegas menyebut bahwa ini bukan soal mineral kritis—sektor yang selama ini jadi rebutan antara AS dan Tiongkok. Tapi diplomasi tetap terbuka.
“Kami terbuka. Kami sangat terbuka dan senang kalau AS tertarik dengan mineral kritis kita,” ujar Bahlil dengan nada diplomatis, tapi tegas.
Dengan kata lain: jika AS ingin masuk lebih jauh ke sektor strategis Indonesia, kompensasi harus seimbang.
Refleksi: Saat Diplomasi Harus Lewat Drum Minyak
Apa yang dilakukan Bahlil bisa dibilang berani. Di saat negara lain memilih bertahan, Indonesia justru menawarkan solusi: “Kami bantu kalian, asal hubungan ini saling menguntungkan.”
Namun, kebijakan ini tidak bebas kritik. Beberapa pihak menilai:
-
Apakah pembelian besar-besaran ini tepat secara ekonomi energi nasional?
-
Apakah hanya akan menguntungkan AS tanpa memperkuat ketahanan energi dalam negeri?
-
Dan, siapa yang akan menanggung beban fiskal dari transaksi sebesar ini?
SuaraNalar: Di Antara Barrel dan Diplomasi
Di dunia politik global hari ini, minyak tidak lagi sekadar bahan bakar, tapi juga alat tawar. Ketika diplomasi multilateral melemah, kadang solusi paling praktis adalah membeli hubungan.
Dan jika itu bisa membuat produk-produk Indonesia tetap bisa bersaing di Amerika—mungkin, drum demi drum minyak itu memang layak dibayar.