Jakarta, SuaraNalar.com — Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) resmi memperkenalkan struktur kepengurusan dan strategi investasi pertamanya pada Senin (24/3/2025). Dengan aset senilai US$900 miliar (Rp14.670 triliun), dana kekayaan negara ini disebut sebagai “Temasek-nya Indonesia” dan menargetkan pertumbuhan ekonomi 8% pada 2029. Namun, pengumuman ini justru memicu aksi jual di pasar saham dan pelemahan rupiah.
Tim Impian dengan Nama Besar Global
Danantara menggaet sejumlah tokoh internasional dan lokal untuk memimpin strategi investasi:
- Dewan Pengarah: Mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
- Dewan Penasihat:
- Ray Dalio (pendiri Bridgewater Associates, manajer dana lindung nilai terbesar dunia).
- Jeffrey Sachs (ekonom AS, penasihat khusus Presiden Prabowo Subianto).
- Thaksin Shinawatra (mantan PM Thailand yang pernah diasingkan karena kasus korupsi).
- Tony Blair (mantan PM Inggris) – belum dikonfirmasi resmi.
Jeffrey Sachs dalam pernyataan ke Reuters menegaskan perannya sebagai penasihat sukarela tanpa bayaran. Sementara Thaksin, yang putrinya kini menjabat PM Thailand, disebut akan membawa pengalaman bisnis regional.
Strategi Investasi dan Target Awal
Fase pertama Danantara akan menyalurkan US$20 miliar ke sektor:
- Pengolahan sumber daya alam (terutama nikel dan mineral kritis).
- Pengembangan kecerdasan buatan (AI).
- Energi terbarukan dan ketahanan pangan.
Pandu Sjahrir, Kepala Investasi Danantara, menyebut proyek ini akan memitigasi risiko geopolitik dan volatilitas pasar global.
Reaksi Pasar dan Kekhawatiran
- Indeks Saham Indonesia anjlok 7% pekan lalu ke level terendah sejak Agustus 2021.
- Rupiah melemah ke Rp16.300/US$ (terendah dalam 3 minggu).
- Penyebab: Kekhawatiran investor atas intervensi politik dalam pengelolaan aset BUMN dan defisit fiskal.
Meski CEO Danantara Rosan Roeslani menjamin transparansi (“dana bisa diaudit siapa pun”), analis seperti Wijayanto Samirin (Universitas Paramadina) mengingatkan risiko politisasi: “Pemerintah harus pastikan Danantara tidak jadi alat kepentingan jangka pendek.”
Pro-Kontra Struktur Kepengurusan
- Sinyal Positif: Oktavianus Audi (Kiwoom Sekuritas) menilai kehadiran nama global seperti Ray Dalio bisa tingkatkan kepercayaan investor asing.
- Pertanyaan Kritis:
- Peran Thaksin Shinawatra: Bagaimana rekam jejak korupsinya memengaruhi reputasi Danantara?
- Jeffrey Sachs: Apakah komitmen sukarela tanpa bayarannya realistis untuk proyek jangka panjang?
- Jokowi-SBY di Dewan Pengarah: Apakah ini bentuk “politik warisan” atau murni pertimbangan keahlian?
Tantangan ke Depan
- Konsolidasi 47 BUMN: Proses integrasi aset kompleks seperti Pertamina, PLN, dan Telkom ke Danantara berisiko tumpang tindih kebijakan.
- Tekanan Fiskal: Defisit APBN 2025 diprediksi membengkak jika dividen BUMN dialihkan ke investasi berisiko tinggi.
- Respons Global: Investor asing masih skeptis dengan kemampuan Indonesia mengelola dana sebesar Temasek.
Analisis Kritis
- Verifikasi Fakta:
- Peran Tony Blair: Hingga kini, Danantara belum mengonfirmasi secara resmi. Sumber Reuters hanya merujuk pada “laporan media”.
- Kinerja Pasar: Data 7% penurunan indeks saham sesuai dengan catatan Bursa Efek Indonesia, meski faktor eksternal (kenaikan suku bunga AS) juga berpengaruh.
- Potensi Konflik Kepentingan:
- Thaksin Shinawatra memiliki kepentingan bisnis di ASEAN, termasuk telekomunikasi dan properti. Perannya di Danantara berisiko memicu ketegangan diplomatik dengan Thailand.
- Jeffrey Sachs dikenal sebagai penggagas “shock therapy” ekonomi di Bolivia dan Rusia yang kontroversial.
- Komparasi dengan Temasek:
- Temasek Singapura memiliki corporate governance transparan dengan portofolio terdiversifikasi. Sementara Danantara masih diragukan independensinya dari politik praktis.
- Isu Etis:
- Jual-Beli Pengaruh: Keikutsertaan mantan pemimpin global bisa dipandang sebagai upaya “membeli kredibilitas” tanpa menjamin keberhasilan.
Kesimpulan
Keberhasilan Danantara tergantung pada kemampuan menjaga independensi dari intervensi politik dan transparansi alokasi dana. Meski tim “dream team” memberi sinyal positif, skeptisisme pasar dan catatan kontroversial beberapa penasihat tetap menjadi tantangan. Pembaca disarankan memantau laporan audit independen dan realisasi proyek fase pertama untuk menilai kredibilitas dana ini.