Politik

4 Pulau di Aceh “Pindah” ke Sumut, Kemendagri: Tak Ada Kepentingan

SuaraNalar.com-Empat pulau kecil yang selama ini dikenal berada di wilayah Kabupaten Aceh Singkil, kini secara administratif dinyatakan sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Keputusan ini tertuang dalam Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025. Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil secara resmi telah berubah peta.

Apa yang sebenarnya sedang terjadi?

Menurut Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, keputusan ini bukanlah langkah sepihak. Ia menyebut proses penetapan batas wilayah ini telah berlangsung cukup panjang, bahkan dimulai jauh sebelum masa jabatannya. Dikutip SuaraNalar.com dari Kompas TV pada Jumat (13/6/2025), serangkaian rapat koordinasi dilakukan melibatkan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, hingga lembaga teknis seperti Badan Informasi Geospasial, Pusat Hidrografi TNI AL, dan Topografi TNI AD.

Baca juga: Nadiem Makarim Buka Suara soal Kasus Laptop Chromebook: “Ini Soal Mitigasi Krisis Pendidikan”

Argumen dasarnya sederhana: batas darat antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah sudah disepakati, dan dari batas darat itu, garis wilayah laut ditarik. Karena itulah empat pulau tadi, berdasarkan posisi geografis dan hasil pembacaan teknis pusat, dinilai lebih dekat secara administratif dengan Sumut.

Namun kejelasan prosedur administratif tidak selalu berbanding lurus dengan penerimaan sosial-politik di daerah. Bagi warga, apa yang disebut “tarikan batas wilayah” bisa bermakna lebih dari sekadar garis di peta. Ia bisa menyentuh soal identitas, sejarah, bahkan harga diri daerah.

Tito menegaskan, pemerintah pusat tidak punya kepentingan personal dalam keputusan ini, dan membuka ruang bagi siapa pun yang merasa keberatan untuk menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sikap ini penting sebagai jaminan bahwa negara masih membuka ruang dialog dan koreksi lewat jalur hukum.

Namun di tengah sikap terbuka itu, publik berhak mengajukan pertanyaan penting: mengapa keputusan yang menyangkut batas antarprovinsi bisa berjalan tanpa proses komunikasi publik yang kuat? Mengapa warga hanya tahu setelah keputusan ditetapkan? Dan sejauh mana keputusan teknokratis ini memahami sensitivitas sosial yang melekat pada identitas wilayah?

Baca juga: Prabowo Ambil Sikap! Izin 4 Tambang Dicabut demi Selamatkan Raja Ampat

Dalam konteks demokrasi, batas wilayah bukan sekadar urusan garis dan koordinat. Ia adalah bagian dari narasi bersama tentang siapa kita, tinggal di mana, dan siapa yang memerintah kita. Jika proses pengambilan keputusannya terasa seperti urusan “atas” semata, maka resistensi bukan soal teknis—melainkan tanda lemahnya komunikasi pemerintahan yang partisipatif.

Empat pulau itu mungkin kecil dari sisi luas, tapi dampaknya besar dalam hal kepercayaan. Apakah negara hanya hadir sebagai pembuat keputusan? Atau juga sebagai penjelas, pendengar, dan perawat rasa keadilan?

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button