Duka di Trotoar Bundaran HI: Kakak-Adik Rela Jual Ginjal Demi Bebaskan Ibu dari Tahanan Polres Tangsel
Jakarta, SuaraNalar.com — Aksi nekat dua kakak-adik, Farrel Mahardika Putra (22) dan Nayaka Rivanno Attalah (19), menyita perhatian warga di sekitar Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta Pusat, Kamis (20/3/2025). Keduanya membentangkan poster bertuliskan “Tolong Kami… Kami Ingin Jual Ginjal untuk Bebaskan Bunda dari Tahanan Polres Tangsel”, sebagai upaya menggalang dana hukum untuk sang ibu, Syafrida Yani (45), yang ditahan terkait tuduhan penggelapan.
Latar Belakang Tuduhan Penggelapan
Menurut penuturan Farrel, konflik berawal saat Yani—yang bekerja sebagai penjual makanan rumahan—diminta membantu mengurus rumah keluarga sang suami di Ciputat, Tangerang Selatan. Selama bekerja, Yani kerap mendapat perlakuan tidak menyenangkan hingga kekerasan verbal dari iparnya. “Ibu tidak tahan dan memutuskan berhenti. Tapi pelapor (ipar) malah melaporkan beliau ke polisi dengan tuduhan mengambil uang Rp10 juta dan ponsel,” ujar Farrel.
Meski Yani telah mengembalikan barang yang dituduhkan, Polres Tangerang Selatan tetap menahannya sejak Rabu (19/3). Farrel menyayangkan ketiadaan pendamping hukum selama pemeriksaan: “Ibu tidak bisa membela diri, sementara pelapor datang dengan pengacaranya.”
Aksi Keputusasaan dan Respons Publik
Aksi jual ginjal ini menuai simpati sekaligus kritik. Beberapa pengguna media sosial mempertanyakan legalitas jual beli organ, sementara lainnya mendesak aparat meninjau ulang kasus Yani. “Ini bukti kegagalan sistem hukum yang memaksa rakyat kecil mengambil jalan ekstrem,” tulis akun @HakimRakyat di platform X.
Hingga berita ini diturunkan, Kapolres Tangerang Selatan belum memberikan klarifikasi resmi terkait alasan penahanan Yani atau proses pemeriksaan yang diadukan keluarga.
Analisis Hukum dan Sosial
- Legalitas Jual Beli Organ: Transaksi jual beli organ manusia di Indonesia dilarang berdasarkan Undang-Undang No. 36/2009 tentang Kesehatan. Aksi Farrel dan Nayaka berpotensi dikenai sanksi pidana, meski motif kemanusiaan mungkin menjadi pertimbangan hakim.
- Proses Hukum yang Dipertanyakan: Absennya pendamping hukum selama pemeriksaan Yani bertentangan dengan UU No. 8/1981 tentang KUHAP Pasal 54, yang menjamin hak tersangka didampingi penasihat hukum.
- Indikasi Kekerasan Struktural: Kasus ini menyoroti kerentanan pekerja informal, terutama perempuan, dalam menghadapi sengketa keluarga yang berujung pidana.
Pernyataan Aktivis
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menawarkan bantuan hukum gratis untuk keluarga Yani. “Kami mendesak Polres Tangsel menghentikan penahanan dan memastikan proses hukum adil tanpa intimidasi,” tegas Direktur LBH Jakarta, Rika Saraswati.
Harapan Keluarga
Farrel berharap aksinya menyadarkan pihak berwenang untuk segera meninjau ulang kasus ibunya. “Kami hanya ingin ibu pulang. Dia bukan penjahat,” ujarnya lirih.
Catatan Redaksi:
Artikel ini disusun berdasarkan keterangan keluarga, UU terkait, dan tanggapan LBH Jakarta. Klaim pengembalian uang dan ponsel oleh Yani belum diverifikasi independen. Pembaca diimbau tidak melakukan transaksi organ ilegal dan melapor ke pihak berwenang jika memiliki informasi lanjutan.