Bisnis

Harapan Baru di Tengah Kepiluan: 10 Ribu Lebih Eks Pekerja Sritex Akan Segera Dipekerjakan Kembali

SuaraNalar – Di tengah gejolak industri tekstil nasional yang menelan banyak korban pemutusan hubungan kerja (PHK), angin harapan datang dari Jawa Tengah. Lebih dari 10 ribu eks pekerja Sritex Group yang sebelumnya dirumahkan akibat kebangkrutan perusahaan, dipastikan akan segera dipekerjakan kembali.

Pernyataan ini datang langsung dari Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Lutfi, yang menegaskan bahwa persoalan tenaga kerja eks Sritex telah menemui titik terang. Di sela gelaran Indonesia Investment Summit oleh ATTEC di Jakarta, Selasa (15/4), Lutfi menyampaikan bahwa proses penyelamatan tenaga kerja telah “clear” dan berada di tangan kementerian.

“Sudah clear, tidak ada katanya. Itu sudah diambil oleh kementerian dan sudah selesai. Sudah, sebentar lagi operasional,” ujar Lutfi.


Sritex: Dari Raksasa Tekstil ke Titik Nol

PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex, nama yang selama puluhan tahun identik dengan kebesaran industri tekstil Indonesia, akhirnya tumbang. Perusahaan ini resmi dinyatakan pailit dan akan menutup seluruh aktivitas operasionalnya per 1 Maret 2025.

Buntut dari kejatuhan ini, lebih dari 11 ribu pekerja terkena PHK, tersebar di berbagai entitas anak usaha grup tersebut:

  • PT Sritex (Sukoharjo)

  • PT Bitratex Industries (Semarang)

  • PT Primayuda (Boyolali)

  • PT Sinar Panca Jaya (Semarang)

Menurut data terakhir yang disampaikan oleh Menteri Ketenagakerjaan Yassierli, proses PHK massal ini sejatinya telah bergulir sejak Agustus 2024, dan jumlah korban PHK mencapai 11.025 orang hingga akhir Februari 2025.


Kerugian Sosial yang Tak Terhitung

Di balik angka-angka statistik, ada wajah-wajah manusia. Mereka adalah buruh harian, operator mesin, teknisi, staf gudang, pekerja administrasi. Mereka yang menggantungkan hidup pada gaji bulanan dari pabrik tekstil di jantung Jawa Tengah. Dalam hitungan bulan, hidup mereka berubah drastis.

“Kasusnya Bitratex ini memang akhirnya pekerja yang meminta di PHK karena mereka membutuhkan kepastian,” ungkap Menaker Yassierli.

Kepastian. Sebuah kata sederhana yang begitu langka di tengah krisis industri padat karya. Banyak dari mereka akhirnya memilih di-PHK secara resmi demi bisa mencairkan jaminan hari tua dan pesangon, walaupun prosesnya rumit dan harus melewati tangan kurator dan BPJS Ketenagakerjaan.

post-image-3


Harapan dari Investor Baru: Jalan Pulang Bagi Ribuan Pekerja

Namun asa itu belum padam. Gubernur Lutfi menyebut, saat ini sedang dalam proses pengambilalihan operasional oleh investor baru. Nama investor belum disebutkan, namun sinyalnya sudah jelas: ribuan eks pekerja Sritex akan direkrut kembali.

“Sebentar lagi di-take over dan akan berjalan,” tegas Lutfi.

Artinya, tak hanya bangunan pabrik yang bisa hidup kembali, tetapi juga denyut ekonomi lokal di Sukoharjo, Boyolali, dan Semarang yang selama ini sangat tergantung pada keberadaan industri tekstil.


Catatan Kritis: Industri Tekstil Kita Sedang Sakit

Kisah Sritex bukan satu-satunya. PHK juga terjadi di perusahaan tekstil lain sejak tahun lalu. Industri padat karya ini terus tergerus tekanan global: mulai dari persaingan impor tekstil murah, melemahnya permintaan ekspor, hingga kenaikan upah dan energi yang tak sebanding dengan produktivitas.

Para pekerja, seperti biasa, jadi korban pertama. Negara harus lebih dari sekadar hadir; ia perlu hadir secara tepat.


Arah Kebijakan: Pemulihan Harus Terpadu

Langkah Gubernur Lutfi dan Kementerian Ketenagakerjaan patut diapresiasi sebagai titik terang. Tapi apa selanjutnya?

  • Apakah model bisnis perusahaan tekstil akan dibenahi agar tak hanya menggantungkan pada pasar luar negeri?

  • Apakah ada skema jangka panjang untuk pelatihan ulang, penguatan daya saing SDM, dan proteksi sosial?

  • Apakah pemda siap mendorong diversifikasi industri agar tidak bergantung pada satu raksasa seperti Sritex?


Suara dari Tanah Pabrik: Harapan Tak Pernah Mati

Di balik pagar-pagar pabrik yang kini sunyi, suara harapan masih bergema. Para pekerja berharap bukan sekadar dipekerjakan kembali, tetapi juga dihargai lebih manusiawi.

Sebab pada akhirnya, pekerjaan bukan hanya soal gaji. Ia adalah hak atas martabat, keberlanjutan hidup, dan masa depan keluarga.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button