Politik

Pakar Hukum UGM Sebut Pemakzulan Gibran Memungkinkan, Tapi…

SuaraNalar.com-Wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali menjadi sorotan tajam publik. Isu ini mencuat setelah Forum Purnawirawan TNI secara terbuka mempertanyakan legalitas pencalonan Gibran dalam Pilpres 2024. Mereka menyebut proses tersebut sebagai buah konsensus politik yang dipaksakan, serta mencederai prinsip keadilan dan demokrasi elektoral.

Di tengah riuhnya opini publik, para pakar hukum tata negara pun mulai angkat suara. Salah satunya adalah Dr. Yance Arizona, pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia menilai bahwa desakan pemakzulan Gibran saat ini belum memiliki dasar hukum yang kokoh.

“Argumen-argumennya tidak begitu solid secara hukum. Ini belum tentu proses hukum, bisa jadi hanya gerakan politik yang menjadikan spotlight media terarah ke Gibran,” ujar Yance.

Menurut Pasal 7A UUD 1945, pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya bisa dilakukan jika terbukti melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, kejahatan berat lainnya, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat konstitusional. Dalam konteks ini, Yance menekankan bahwa semua proses harus didasarkan pada pembuktian hukum, bukan opini publik semata.

Baca juga: Mengapa Forum Purnawirawan TNI Ngotot Menuntut Gibran Mundur?

Lebih lanjut, Yance mengingatkan bahwa MPR bukanlah lembaga yang memulai proses pemakzulan. “Pintu masuknya ada di DPR. Kalau DPR menyatakan pendapat dan MK menyatakan terbukti, barulah MPR bisa bersidang dan memutuskan pemberhentian,” jelasnya sebagaimana dikutip SuaraNalar.com dari situs resmi UGM pada Kamis (19/6/2025).

Yance juga menyoroti isu usia Gibran yang saat pencalonan belum genap 40 tahun, sesuai syarat dalam UUD 1945. Jika terbukti ada manipulasi dalam proses di MK atau KPU terkait syarat tersebut, itu bisa menjadi dasar hukum pemakzulan.

“Kalau memang terbukti ada intervensi kekuasaan yang menyebabkan Gibran lolos syarat usia, maka ada pelanggaran yang bisa dikategorikan sebagai perbuatan tercela atau hilangnya syarat konstitusional,” katanya.

Sulit Memakzulkan Gibran di Kursi Wapres RI

Sementara itu, pandangan yang lebih keras disampaikan oleh pakar hukum tata negara lainnya, Zainal Arifin Mochtar atau akrab disapa Uceng. Dalam diskusi publik bertajuk “Menuju Pemakzulan Gibran: Sampai Kemana DPR Melangkah?” yang digelar Formappi, Uceng menyebut bahwa secara konstruksi hukum, pemakzulan Gibran sangat mungkin dilakukan.

“Ada tiga alasan pemakzulan berdasarkan Pasal 7A-7B UUD 1945: pelanggaran pidana, administratif, dan perbuatan tercela,” ungkap Uceng.

Uceng menyebut dugaan korupsi yang dilaporkan oleh Ubedilah Badrun sebagai contoh pelanggaran pidana. Untuk pelanggaran administratif, bisa dilihat dari verifikasi dokumen dan keabsahan ijazah. Sedangkan perbuatan tercela, menurutnya, jelas terlihat dalam praktik nepotisme dan dugaan manipulasi hukum.

Namun, Uceng menekankan bahwa tantangan terbesar justru bukan pada aspek hukum, melainkan politik. “Kalau koalisi pendukung Prabowo-Gibran masih solid, hampir mustahil DPR akan menggunakan hak menyatakan pendapat,” terangnya.

Lebih jauh, Uceng juga mengkritik peran Mahkamah Konstitusi dalam kasus ini. Ia menyebut MK saat ini lebih menyerupai “makhluk politik” dibandingkan lembaga hukum murni.

Baca juga: Bukan Omon-Omon! Bill Gates Temui Prabowo di Istana Negara, Bahas Makan Bergizi Gratis

“Mohon maaf, saya tidak bisa menganggap MK ini sebagai makhluk hukum. Menurut saya, MK sekarang adalah makhluk politik,” sindirnya tajam.

Jika pun MK menyetujui pemakzulan, tahapan berikutnya harus melibatkan DPD untuk menggelar Sidang MPR yang akan mengambil keputusan akhir. Artinya, jalan menuju pemakzulan tidak hanya panjang, tapi juga penuh rintangan institusional.

Wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka memang terus bergulir, tetapi menurut para pakar, jalan menuju ke sana sangat bergantung pada bukti hukum yang kuat dan konstelasi politik di DPR dan MK. Di tengah derasnya tuntutan publik, satu hal yang pasti: proses pemakzulan tak bisa dibangun di atas ketidakpuasan politik semata, melainkan harus berakar pada konstitusi dan supremasi hukum.***

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button