Koperasi Merah Putih Dianggap Tak Bankable dan Langgar Prinsip Koperasi

SuaraNalar.com-Program Koperasi Desa Merah Putih yang digagas Presiden Prabowo Subianto terus menuai kritik dari berbagai kalangan. Artikel ini membahas perkembangan terbaru program tersebut, termasuk rencana pendanaan melalui bank-bank Himbara, serta analisis para pengamat ekonomi dan koperasi mengenai potensi masalah yang mengintai.
Pendanaan Koperasi Lewat Himbara
Pemerintah berencana menggunakan skema pembiayaan dari Himpunan Bank Negara (Himbara) — terdiri dari BRI, Mandiri, BNI, dan BTN — untuk mendukung 70.000–80.000 Koperasi Desa (KopDes) Merah Putih. Masing-masing koperasi akan mendapatkan dana pinjaman awal sebesar Rp5 miliar, dengan bunga rendah, dan peluncurannya dijadwalkan bertepatan dengan Hari Koperasi Nasional pada 12 Juli 2025.
Namun, rencana ini langsung mendapat kritik tajam. Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, menyebut bahwa program tersebut tidak memenuhi kualifikasi untuk menerima kredit bank. “Kalau ditanya ke saya, itu pasti tidak bankable karena dimulai dari nol,” ujar Ronny sebagaimana dikutip SuaraNalar dari Tempo.co.
Baca juga: Bisakah Rakyat Menuntut Pemerintah atas Kasus Keracunan Program MBG?
Ronny bahkan menilai kebijakan pemerintah sebagai bentuk “represi finansial” karena memaksa bank negara berpihak pada koperasi yang belum jelas struktur dan rekam jejaknya. Ia mengingatkan bahwa praktik serupa pernah menjadi penyebab krisis finansial di Indonesia pada 1997.
“Kalau dulu represi ke konglomerat, setidaknya mereka masih punya kolateral. Ini Koperasi Merah Putih benar-benar start from scratch,” tegas Ronny.
Risiko Kredit Macet dan Beban Bank BUMN
Kekhawatiran juga muncul dari sektor perbankan. Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Trioksa Siahaan, menekankan bahwa meskipun fungsi bank adalah memberi kredit, harus tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian.
“Pembiayaan lewat Himbara baik adanya, asalkan tetap memperhatikan manajemen risiko dan regulasi,” katanya, dikutip dari Infobanknews.
Trioksa menambahkan bahwa potensi kredit macet (Non Performing Loan/NPL) harus diantisipasi sejak dini. Bila kualitas koperasi tidak baik, risiko terhadap profitabilitas bank negara bisa menjadi signifikan.
Pengamat perbankan Paul Sutaryono juga mengkritik pendekatan top-down yang diambil pemerintah. Ia menegaskan, koperasi idealnya dibentuk secara sukarela oleh anggota, bukan karena proyek negara. “Koperasi itu seperti rumah. Kalau dibangun dari bawah (bottom-up), fondasinya kokoh. Kalau dari atas, seperti rumah di atas pasir, gampang runtuh,” katanya.
Kritik Prinsipil: “Bukan Lagi Koperasi”
Kritik paling keras datang dari kalangan penggerak koperasi sendiri. Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses), Suroto, menyebut bahwa KopDes Merah Putih bahkan tidak layak disebut sebagai koperasi karena telah melanggar prinsip-prinsip dasar koperasi.
Menurut Suroto, koperasi dibentuk atas dasar kesukarelaan dan kemandirian. Pembentukan 80.000 koperasi secara serentak, dengan campur tangan negara, dianggap mencederai nilai-nilai seperti solidaritas, keadilan, demokrasi ekonomi, dan otonomi.
“Semua didasarkan kemauan dan kesadaran masyarakat sendiri untuk membentuk koperasi karena manfaat dan keunggulan koperasi secara natural,” tegas Suroto dalam wawancara dengan Bisnis Indonesia.
Ia juga menyoroti absennya dasar hukum dan regulasi yang jelas. Bahkan, menurutnya, skema ini berpotensi melanggar UUD 1945, khususnya Pasal 33 tentang demokrasi ekonomi. “Ini sudah melanggar hak rakyat dan berpotensi timbulkan moral hazard yang tinggi,” katanya.
Baca juga: 5 Fakta Pertemuan Bill Gates dan Prabowo di Istana Merdeka, Makan Bergizi Gratis Mendunia!
Secara ide, program KopDes Merah Putih bisa menjadi lokomotif baru ekonomi desa. Namun, berbagai kritik menunjukkan bahwa pendekatan saat ini berpotensi merusak esensi koperasi itu sendiri. Risiko kredit macet, intervensi negara, dan ketidaksiapan struktur kelembagaan menjadi alarm serius.
Pemerintah didesak untuk menata ulang strategi, mulai dari penyusunan regulasi, pelatihan pengurus, hingga pembentukan koperasi secara organik. Tanpa itu, impian membangun koperasi unggulan justru bisa berubah menjadi beban jangka panjang bagi keuangan negara dan sistem perbankan nasional.***